Sabtu, 10 Agustus 2013

Memories of Wamena Part 2



Pesona Tradisional

Okika…..O Wamena…,
Wene ka werek…, yogo sasike….
Okika…. O Wamena…..
Yogo tak nen, keuk sak motok…..
O wuka luwuk nite werugun......

Sayup-sayup lagu itu terngiang di telingaku. Asing memang...., tetapi sungguh mengasyikkan untuk didengar, apalagi dinikmati. Lagu itu menceritakan tentang adanya berita yang harus disampaikan ke kota Wamena, berharap kota yang dulunya dikenal sebagai kota yang rusak akibat kerusuhan dapat dibangun kembali.
Bagi wisatawan, Wamena seperti surganya Papua. Memang benar idiom yang mengatakan, belum ke Papua kalau belum ke Wamena”. Banyak wisatawan kagum akan keindahan alam Jayawijaya yang sangat sulit dilukiskan. Dikelilingi bukit-bukit rimbun diselingi batu-batuan, terdapat hamparan lembah Baliem yang indah. Di dalam lembah ini terdapat  sejumlah misteri keaslian hidup manusia yang dapat dipelajari dan diteliti. Penelitian oleh warga negara asing telah berlangsung sejak puluhan tahun silam, tetapi belum juga selesai.
Misteri alam bersama penduduk Jayawijaya tidak pernah dapat dijelaskan secara lengkap. Ratusan jenis tari-tarian dari berbagai suku di pedalaman, musik dan cara bermukim yang sangat unik. Setiap tarian mengungkapkan ratusan suku dan bahasa di pedalaman Jayawijaya. Dua suku besar yakni Suku Dani dan Suku Yali menjadikan Wamena khususnya dan Jayawijaya umumnya sangat berbeda dengan suku-suku lain di Papua. Cara hidup mulai dari seseorang dilahirkan, dibesarkan, hubungannya dengan orang lain, kekerabatan, pola permukiman, pertanian, upacara perkawinan, kelahiran, kematian, cara memasak, dan berpakaian secara tradisional. Semuanya merupakan hal yang sangat menarik untuk dipelajari.
Suku-suku yang bermukim di Jayawijaya dikenal dengan tradisi perangnya di masa silam. Mereka terbiasa dengan berperang melawan kedahsyatan alam untuk mempertahankan hidupnya sehari-hari. Mereka mencukupi kebutuhan pangannya dengan menggantungkan pada jenis varietas umbi-umbian antara lain ”hipere” (ubi jalar) yang dibudidayakan dengan peralatan seadanya.
Menyusuri Kota Wamena yang terhampar di Lembah Baliem itu terasa lain dengan cerita orang selama ini. Udaranya dingin karena terletak diketinggian sekitar 1.600 - 2.400 m dari permukaan laut, terasa menusuk tulang. Konon ini masih belum seberapa dibandingkan dengan beberapa tahun silam. Dulu kabut masih sering menyelimuti Lembah Baliem. Juga bukan hal yang aneh jika terkadang turun hujan es. 

Wamena juga dikenal dengan sebutan Lembah Seribu Honai.
Bukan Mesir saja yang memiliki mummi. Suku Dani, Yali, dan Ngalum di Kabupaten Jayawijaya menyimpan sejumlah mummi yang umurnya ratusan tahun, khususnya di Lembah Baliem yang dihuni masyarakat Dani dengan rumah khasnya, honai. Saat ini sudah jarang kita temui lelaki ber-holim (koteka) maupun wanita ber-sali (pakaian khas masyarakat Dani). 
 

Fenomena ini menggambarkan pergeseran budaya masyarakat. Bisa jadi budaya tersebut tidak dapat mengikuti laju perkembangan pembangunan, terlebih dengan dengan meningkatnya migrasi warga negara Indonesia (suku pendatang) yang mulai mendominasi kota Wamena. Contohnya saat ini penduduk asli yang kental dengan budaya bercocok tanam mulai berkurang, terutama sejak adanya pesawat dari Jayapura yang membawa bahan pangan. Frekuensi perang antar suku berkurang, yang sering ada adalah perang-perangan yang sengaja diadakan sebagai promosi wisata. Budaya potong jari atau telinga jika ada kerabat yang meninggal juga berkurang, karena mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat akan arti penting lengkapnya anggota tubuh untuk melakukan aktivitas dan tuntutan lapangan pekerjaan.
Menurut adat Dani, orang yang meninggal jenazahnya tidak dikuburkan tetapi dikremasi dengan upacara adat, yang berlangsung selama 40 hari. Upacara ini dilakukan di halaman sili (unit permukiman masyarakat Dani), di depan pilamo (Honai laki-laki). Selesai dikremasi, abu jenazah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam labu yang telah disiapkan. Kemudian labu tersebut dimakamkan di belakang pilamo dan diberi pagar pelindung. Maka menjadi pertanyaan jika ada mayat yang diawetkan (dimummikan). Menurut informasi, hanya orang tertentu yang boleh dimummikan. Mereka itu biasanya orang yang dianggap pahlawan karena banyak berjasa dalam perang antar suku semasa hidupnya. Bisa jadi mereka adalah kepala suku atau panglima perang.

Text Box: Gambar 3. Mummi Wimontok 
di Kurulu
Selama ini di Kabupaten Jayawijaya ada 7 mummi yang sudah diketahui. Mummi-mummi tersebut bisa dijumpai di Kecamatan Kurulu, utara Kota Wamena (3 buah), di Kecamatan Assologaima, barat Kota Wamena (3 buah), serta di Kecamatan Kurima (1 buah) yang merupakan satu-satunya mummi wanita. Dari ketujuh mummi tersebut, mummi Werupak Elosak di Desa Aikima dan mummi Wimontok Mabel di Desa Yiwika, keduanya di Kecamatan Kurulu sudah menjadi objek wisata dan sering dikunjungi wisatawan.
Satu-satunya mummi yang pernah aku lihat adalah mummi Wimontok Mabel, di Desa Yiwika, Kurulu. Mummi ini kondisinya masih baik. Menurut kerabatnya, Wimontok, yang dalam bahasa setempat berarti perang terus, adalah panglima perang yang ahli strategi. Ia meninggal karena usia tua, dan sesuai dengan amanatnya, mayatnya diawetkan. Umurnya kurang lebih 366 tahun. Umur ini dapat dilihat dari jumlah kalung yang ada di lehernya, yang dikalungkan setiap 5 tahun sekali disertai upacara adat dengan pemotongan babi. Lemak hewan itu kemudian dibalurkan ke seluruh tubuh mummi. Sebagai seorang panglima perang, wajar jika ia sering terluka. Terdapat tiga lubang bekas luka yang serius akibat tusukan sege di tubuhnya. Aksesorisnya juga masih lengkap termasuk busur yang pernah ia gunakan dan saat ini dibuat menjadi jalinan mahkota di kepalanya. Sayangnya, pemeliharaan mummi itu nampak masih kurang. Mummi hanya ditaruh begitu saja dalam kotak. Jika ada yang ingin melihat, dengan membayar sejumlah uang yang jumlahnya dinegosiasikan dengan kerabat yang memelihara, mummi digotong ke halaman sili dan didudukkan di atas kursi atau balok kayu. Mobilitas yang tinggi karena hampir setiap hari ada yang ingin melihatnya bisa menimbulkan kerapuhan. Dalam upacara-upacara adat, terutama perkawinan, mummi Werupak maupun Wimontok selalu dihadirkan di tengah-tengah pesta. Sesuai dengan adat kepercayaan mereka, kehadiran mummi dalam suatu upacara itu akan mendatangkan kebahagiaan dan kesuburan. Mereka percaya, mummi akan merestui setiap kegiatan yang mereka lakukan sebab hal itu pun pernah dilakukan oleh mummi semasa hidupnya. (Sumber: kerabat suku Mabel:2009)
Penanganan khusus untuk melestarikan aset budaya bangsa ini nampaknya amat diperlukan. Kendalanya adalah negosiasi dengan para kerabat mummi untuk memberi penjelasan maksud dan kegunaan mummi dipelihara dengan cara disimpan dalam kotak kaca hampa udara tidak mudah. Alasan mereka, mummi tersebut sering diikutkan dalam upacara adat sehingga jika dimasukkan dalam kotak kaca, kedekatan mereka dengan mummi akan berkurang. (Sumber: Agus Surono:1997)