Pesona Tradisional
Okika…..O Wamena…,
Wene ka werek…, yogo sasike….
Okika…. O Wamena…..
Yogo tak nen, keuk sak motok…..
O wuka luwuk nite werugun......
Sayup-sayup lagu itu terngiang di telingaku. Asing memang...., tetapi
sungguh mengasyikkan untuk didengar, apalagi dinikmati. Lagu itu menceritakan
tentang adanya berita yang harus disampaikan ke kota Wamena, berharap kota yang
dulunya dikenal sebagai kota yang rusak akibat kerusuhan dapat dibangun
kembali.
Bagi wisatawan, Wamena seperti surganya Papua. Memang benar idiom yang
mengatakan, ”belum ke Papua kalau belum ke Wamena”. Banyak
wisatawan kagum akan keindahan alam Jayawijaya yang sangat sulit dilukiskan. Dikelilingi
bukit-bukit rimbun diselingi batu-batuan, terdapat hamparan lembah Baliem yang
indah. Di dalam lembah ini terdapat sejumlah
misteri keaslian hidup manusia yang dapat dipelajari dan diteliti. Penelitian
oleh warga negara asing telah berlangsung sejak puluhan tahun silam,
tetapi belum juga selesai.
Misteri alam bersama penduduk Jayawijaya tidak pernah dapat dijelaskan secara
lengkap. Ratusan jenis tari-tarian dari berbagai suku di pedalaman, musik dan cara
bermukim yang sangat unik. Setiap tarian mengungkapkan ratusan suku dan bahasa di
pedalaman Jayawijaya. Dua suku besar yakni Suku Dani dan Suku Yali menjadikan
Wamena khususnya dan Jayawijaya umumnya sangat berbeda dengan suku-suku lain di
Papua. Cara hidup mulai dari seseorang dilahirkan, dibesarkan, hubungannya dengan
orang lain, kekerabatan, pola permukiman, pertanian, upacara perkawinan, kelahiran,
kematian, cara memasak, dan berpakaian secara tradisional. Semuanya merupakan hal
yang sangat menarik untuk dipelajari.
Suku-suku yang bermukim di Jayawijaya dikenal dengan tradisi perangnya di
masa silam. Mereka terbiasa dengan berperang melawan kedahsyatan alam untuk mempertahankan
hidupnya sehari-hari. Mereka mencukupi kebutuhan pangannya dengan
menggantungkan pada jenis varietas umbi-umbian antara lain ”hipere” (ubi jalar)
yang dibudidayakan dengan peralatan seadanya.
Menyusuri Kota Wamena yang terhampar di Lembah Baliem itu terasa lain
dengan cerita orang selama ini. Udaranya dingin karena terletak diketinggian sekitar
1.600 - 2.400 m dari permukaan laut, terasa menusuk tulang. Konon ini masih belum seberapa dibandingkan dengan beberapa tahun silam.
Dulu kabut masih sering menyelimuti Lembah Baliem. Juga
bukan hal yang aneh jika terkadang turun hujan es.
Wamena juga dikenal dengan sebutan Lembah Seribu Honai.
Bukan Mesir saja yang memiliki mummi. Suku Dani, Yali, dan Ngalum di Kabupaten Jayawijaya menyimpan sejumlah mummi yang umurnya ratusan tahun, khususnya di Lembah Baliem yang dihuni masyarakat Dani dengan rumah khasnya, honai. Saat ini sudah jarang kita temui lelaki ber-holim (koteka) maupun wanita ber-sali (pakaian khas masyarakat Dani).
Bukan Mesir saja yang memiliki mummi. Suku Dani, Yali, dan Ngalum di Kabupaten Jayawijaya menyimpan sejumlah mummi yang umurnya ratusan tahun, khususnya di Lembah Baliem yang dihuni masyarakat Dani dengan rumah khasnya, honai. Saat ini sudah jarang kita temui lelaki ber-holim (koteka) maupun wanita ber-sali (pakaian khas masyarakat Dani).
Fenomena ini menggambarkan pergeseran budaya
masyarakat. Bisa jadi budaya tersebut tidak dapat mengikuti laju perkembangan
pembangunan, terlebih dengan dengan meningkatnya migrasi warga negara Indonesia
(suku pendatang) yang mulai mendominasi kota Wamena. Contohnya saat ini penduduk
asli yang kental dengan budaya bercocok tanam mulai berkurang, terutama sejak
adanya pesawat dari Jayapura yang membawa bahan pangan. Frekuensi perang antar suku
berkurang, yang sering ada adalah perang-perangan yang sengaja diadakan sebagai
promosi wisata. Budaya potong jari atau telinga jika ada kerabat yang meninggal
juga berkurang, karena mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat akan arti penting
lengkapnya anggota tubuh untuk melakukan aktivitas dan tuntutan lapangan
pekerjaan.
Menurut adat Dani, orang yang meninggal jenazahnya tidak dikuburkan tetapi
dikremasi dengan upacara adat, yang berlangsung selama 40 hari. Upacara ini dilakukan di halaman sili
(unit permukiman masyarakat Dani), di depan pilamo
(Honai laki-laki). Selesai dikremasi,
abu jenazah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam labu yang telah disiapkan.
Kemudian labu tersebut dimakamkan di belakang pilamo dan diberi pagar pelindung. Maka menjadi pertanyaan jika ada
mayat yang diawetkan (dimummikan). Menurut informasi, hanya orang tertentu yang
boleh dimummikan. Mereka itu biasanya orang yang dianggap pahlawan karena
banyak berjasa dalam perang antar suku semasa hidupnya. Bisa jadi mereka adalah
kepala suku atau panglima perang.

Satu-satunya mummi yang pernah aku lihat adalah mummi Wimontok
Mabel, di Desa Yiwika, Kurulu. Mummi ini kondisinya masih baik. Menurut
kerabatnya, Wimontok, yang dalam bahasa setempat berarti perang terus, adalah panglima
perang yang ahli strategi. Ia meninggal karena usia tua, dan sesuai dengan
amanatnya, mayatnya diawetkan. Umurnya kurang lebih 366 tahun. Umur ini dapat
dilihat dari jumlah kalung yang ada di lehernya, yang dikalungkan setiap 5
tahun sekali disertai upacara adat dengan pemotongan babi. Lemak hewan itu
kemudian dibalurkan ke seluruh tubuh mummi. Sebagai seorang panglima perang,
wajar jika ia sering terluka. Terdapat tiga lubang bekas luka yang serius
akibat tusukan sege di tubuhnya. Aksesorisnya juga masih lengkap termasuk busur
yang pernah ia gunakan dan saat ini dibuat menjadi jalinan mahkota di
kepalanya. Sayangnya, pemeliharaan mummi itu nampak masih kurang. Mummi hanya
ditaruh begitu saja dalam kotak. Jika ada yang ingin melihat, dengan membayar
sejumlah uang yang jumlahnya dinegosiasikan dengan kerabat yang memelihara, mummi
digotong ke halaman sili dan
didudukkan di atas kursi atau balok kayu. Mobilitas yang tinggi karena hampir
setiap hari ada yang ingin melihatnya bisa menimbulkan kerapuhan. Dalam upacara-upacara adat,
terutama perkawinan, mummi Werupak maupun Wimontok selalu dihadirkan di
tengah-tengah pesta. Sesuai dengan adat kepercayaan mereka, kehadiran mummi
dalam suatu upacara itu akan mendatangkan kebahagiaan dan kesuburan. Mereka
percaya, mummi akan merestui setiap kegiatan yang mereka lakukan sebab hal itu
pun pernah dilakukan oleh mummi semasa hidupnya. (Sumber: kerabat suku Mabel:2009)
Penanganan khusus untuk melestarikan aset budaya bangsa ini nampaknya amat
diperlukan. Kendalanya adalah negosiasi dengan para kerabat mummi untuk memberi
penjelasan maksud dan kegunaan mummi dipelihara dengan cara disimpan dalam
kotak kaca hampa udara tidak mudah. Alasan mereka, mummi tersebut sering
diikutkan dalam upacara adat sehingga jika dimasukkan dalam kotak kaca,
kedekatan mereka dengan mummi akan berkurang. (Sumber: Agus Surono:1997)