OKIKA O WAMENA
By Ir.
Lucia Purbarini, MSi., FMAM.
Meniti Jalan, Mengemban Tugas
“Papua…???”, tanyaku dalam hati. “Kenapa harus pulau
terujung timur Indonesia itu…???” Sebuah pulau di timur Indonesia yang sering
disebut orang dengan “Tanah Injil”. Pulau yang tak pernah kubayangkan akan
menjadi bagian dari hidupku. Bayangan yang terus menghantuiku adalah hidup di
lingkungan dengan adat istiadat yang sangat asing dan cenderung primitif, jauh
dari keramaian…, layaknya suasana yang biasa kudapati di kota-kota besar pulau
Jawa, seperti beberapa lingkungan kota tempat tinggalku selama ini, perjalanan
yang jauh, biaya hidup yang tinggi dan yang pasti semua itu akan sangat
melelahkan dari segi fisik dan finansial. Sebuah pertanyaan besar yang mengusik
adalah bagaimana caraku bersosialisasi dengan masyarakat pedalaman yang pasti
masih tradisional-konvensional dalam segala hal, walau di kota-kota besarnya
sekalipun.
Dan inilah kenyataan hidup yang harus aku terima dan jalani. Suamiku
mendapatkan tugas di tempat itu. Sungguh..., ada rasa gundah. Sesungguhnya
kalau boleh memilih, tidak seorangpun mau ditempatkan di daerah dengan tingkat
kerawanan tinggi. Sebagai isteri abdi negara seharusnya aku mendampingi suami
dimanapun tempat tugasnya. Namun ikatan dinas sebagai konsekuensi Tugas Belajar
yang telah aku jalani, dan seijin suami serta keluarga besar kami, maka aku
tetap bekerja dan tinggal di Jakarta sampai masa ikatan dinasku berakhir.
Aku bekerja di Dinas Pengawasan dan
Penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta dan sebagai wanita yang hidup di era
persamaan gender antara pria dan wanita tengah digembar-gemborkan, aku memang
berprinsip bahwa wanita harus bisa mengaktualisasikan dan mengembangkan diri.
“Perempuan harus mandiri, no matter how.”
Orang tuaku dan instansi tempatku bekerja telah membuka peluang besar untuk
kemajuan karirku, hingga aku dapat meraih gelar Insinyur Sipil, Magister Sain
Perkotaan dan Fadil Muda Aset Management (gelar kompetensi sebagai penilai aset
yang diberikan oleh UTM). Sebuah kebanggaan bagi orang tua dan keluarga besar
kami yang sangat menjunjung tinggi dunia pendidikan. Kebetulan orang tua dan
mertuaku sangat concern dengan dunia pendidikan. Aku akan merasa menjadi orang
yang sangat tidak berguna dengan sederet gelar bila tidak dapat melakukan
apa-apa. Dan di benakku ada satu pertanyaan besar, “Apa yang aku
bisa kerjakan di Papua?”
Imajinasiku menari-nari tak
terkendali… Film berjudul ”Denias” kuputar ulang untuk lebih mendekatkan aku
pada suasana lingkungan dan masyarakat Papua. Dan aku bukan orang yang suka
meraba-raba. Browzing internet!!!
Ya... di zaman berbasis teknologi
informasi saat ini, semua informasi bisa didapat dari internet!!!. Kuaktifkan notebookku, googling.
Sekejap fasilitas itu membawaku menjelajah dunia maya mencari informasi tentang
Papua. Harapanku, informasi dari internet tentang Papua sangat membantuku untuk
mengenali geografi tanah Papua dan demografi masyarakatnya. Tak cukup dengan
itu, kualihkan pencarianku dengan fasilitas google
earth untuk lebih nyata menghadirkan ”Tanah Injil” itu ke pikiranku. Tapi
pencarianku dengan google earth belum bisa menjawab pertanyaanku. Peta satelit
yang tidak up to date menjadi
kendalanya. Gambar satelit yang aku terima sungguh tidak dapat mewakili keadaan
sesungguhnya. Kabur..., daratan tertutup awan.
Hari saat keberangkatan suamiku
tiba. Dengan kepasrahan hati kuantarkan dia sampai di bandara Soekarno Hatta. Pesawat Garuda yang
membawanya, take off pukul 06.10
menit. Kupastikan pesawat sudah mengudara dalam kondisi stabil, baru
kutinggalkan bandara dengan hati bertanya-tanya, ”Bagaimana dengan kehidupan
suamiku di tempat tugas yang baru?”. Lagi-lagi pertanyaan itu datang, dan
syukur pada Tuhan....., aku dan anak-anak memiliki orang-orang yang sangat
mengasihi kami. Orang tua dan saudara-saudaraku memberi dukungan yang tak
ternilai, meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.
Sore itu...., handphoneku bergetar. Aaahhh..., ternyata dari suamiku, mengabarkan
bahwa dia sudah sampai di Jayapura setelah menempuh perjalanan selama 7 jam
dari Jakarta ditambah 45 menit perjalanan dari bandara Sentani, melintasi
tepian danau Sentani yang menurutnya sungguh indah. Tuhan sungguh Maha Besar,
suamiku tidak harus tinggal di hotel atau mengontrak rumah. Teman seangkatannya
yang telah terlebih dulu bertugas di Papua meminjamkan rumahnya untuk
ditinggali. ”Daripada kosong dan tidak terawat”, alasannya.
Setelah satu bulan masa adaptasi yang ia lewati,
suamiku memintaku untuk mengambil cuti barang beberapa hari. ”Supaya tahu
Papua”, katanya. Beberapa hari kemudian, akupun memenuhi permintaannya.
Puji Tuhan..., setelah 7 jam perjalanan, sampailah aku di bandara Sentani. Tidak perlu aku jelaskan, betapa jauh perbedaan bandara Sentani dengan
bandara-bandara yang pernah aku datangi. Kotor, karena limbah manusia yang
makan buah pinang berceceran di mana-mana. Tapi tentu sulit untuk melarang atau
merubah kebiasaan masyarakat untuk hal yang satu itu. Perlu effort masyarakat didukung dengan
kebijakan Pemerintah Daerah. Buktinya Singapura, dengan regulasi yang jelas,
masyarakatnyapun dapat berubah secara positif. Implikasi
dari transparansi regulasi Singapura adalah negara maju di antara negara-negara
ASEAN lainnya.
Melihat sepintas kota Jayapura, ada perasaan ”rindu” melihat tanah yang
kupijak ini menjadi aset Indonesia yang bernilai. Potensi Papua merupakan aset
yang tak ternilai, namun belum dimanfaatkan secara optimal sesuai kebutuhan
masyarakatnya. Padahal aset atau “sesuatu” dapat dikatakan memiliki nilai
bila memiliki arti dan berguna bagi
pemiliknya, dalam hal ini masyarakat Indonesia dan Pemerintah baik Pusat maupun
Daerah. Bagaimana dengan Papua? Tantangan buat kita warga negara Indonesia.
Tepat
1,5 tahun setelah menginjakkan kaki di tanah Papua. Suamiku mendapat kepercayaan
untuk bertugas di tempat baru, Kabupaten Jayawijaya. Lebih berat, baik medan
maupun situasi dan kondisi masyarakatnya. Tapi apapun itu, kami sangat
bersyukur. Aku perpegang pada firman Tuhan dalam 2Tawarik 15:7 yang
berbunyi ”Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena
ada upah bagi usahamu!", dan berharap Tuhan akan membuat segalanya indah
pada waktunya. Dua hari setelah pelantikan, tepatnya tanggal 26 Februari 2009, kami
berangkat ke Wamena, tempat tugas baru suamiku.
Wah...wah...wah...wah..., suara penari Yospan yang dipimpin kepala suku
besar Hubi (suku yang bermukim di kota Wamena) menyambut aku dan suamiku turun
dari pesawat Trigana Air yang membawa kami dari bandara Sentani melintasi
pegunungan Jayawijaya menuju Wamena. Perjalanan dengan pesawat berbaling-baling
itu kami tempuh selama 40 menit. Wamena merupakan ibu kota Kabupaten Jayawijaya
yang secara geografis terletak di tengah pulau Papua, dengan Luas 62.433 km2, daerah ini eksis sejak awal
pemerintahan RI. Ditemukan pertama kali oleh Richard Archbold, ketua
tim ekspedisi yang disponsori oleh American Museum of Natural History yang
melihat adanya lembah hijau luas dari kaca jendela pesawat pada tanggal 23 Juni 1938.
Penglihatan tidak sengaja ini adalah awal dari terbukanya isolasi Lembah Baliem
dari dunia luar. Kabupaten Jayawijaya berbatasan di utara dengan Kabupaten
Mamberamo Tengah dan Kabupaten Yalimo, di selatan dengan Kabupaten
Yahukimo, di bagian barat dengan Kabupaten
Lanny Jaya dan Kabupaten
Tolikara dan di bagian timur dengan Kabupaten Pegunungan Bintang. Sejak tahun 2008, Wilayah
Kabupaten Jayawijaya mengalami pemekaran menjadi 5 Kabupaten, yaitu Kabupaten
Memberamo Tengah, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yalimo
dan Kabupaten Jayawijaya sendiri.
Tingkat kepadatan penduduk kota Wamena sangat jauh berbeda dengan tingkat
kepadatan penduduk di kecamatan yang ada di pulau Jawa. Begitu pula dengan
aksesibilitas dan utilitas kotanya. Bila kita ingin mengelilingi kotanya dengan
menggunakan mobil tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam. Penerangan lampu
terbatas, ada giliran hidup-matinya. Namun bila kita gali lebih jauh potensi
yang ada, begitu banyak keindahan yang bisa dinikmati. Rasanya tak cukup waktu
untuk menikmatinya. Terutama yang
berkaitan dengan ekologi dan antropologi budaya masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar