Sabtu, 10 Agustus 2013

Memories of Wamena Part 1



OKIKA O WAMENA
By Ir. Lucia Purbarini, MSi., FMAM.



Meniti Jalan, Mengemban Tugas
“Papua…???”, tanyaku dalam hati. “Kenapa harus pulau terujung timur Indonesia itu…???” Sebuah pulau di timur Indonesia yang sering disebut orang dengan “Tanah Injil”. Pulau yang tak pernah kubayangkan akan menjadi bagian dari hidupku. Bayangan yang terus menghantuiku adalah hidup di lingkungan dengan adat istiadat yang sangat asing dan cenderung primitif, jauh dari keramaian…, layaknya suasana yang biasa kudapati di kota-kota besar pulau Jawa, seperti beberapa lingkungan kota tempat tinggalku selama ini, perjalanan yang jauh, biaya hidup yang tinggi dan yang pasti semua itu akan sangat melelahkan dari segi fisik dan finansial. Sebuah pertanyaan besar yang mengusik adalah bagaimana caraku bersosialisasi dengan masyarakat pedalaman yang pasti masih tradisional-konvensional dalam segala hal, walau di kota-kota besarnya sekalipun.
Dan inilah kenyataan hidup yang harus aku terima dan jalani. Suamiku mendapatkan tugas di tempat itu. Sungguh..., ada rasa gundah. Sesungguhnya kalau boleh memilih, tidak seorangpun mau ditempatkan di daerah dengan tingkat kerawanan tinggi. Sebagai isteri abdi negara seharusnya aku mendampingi suami dimanapun tempat tugasnya. Namun ikatan dinas sebagai konsekuensi Tugas Belajar yang telah aku jalani, dan seijin suami serta keluarga besar kami, maka aku tetap bekerja dan tinggal di Jakarta sampai masa ikatan dinasku berakhir. 
            Aku bekerja di Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta dan sebagai wanita yang hidup di era persamaan gender antara pria dan wanita tengah digembar-gemborkan, aku memang berprinsip bahwa wanita harus bisa mengaktualisasikan dan mengembangkan diri. “Perempuan harus mandiri, no matter how.” Orang tuaku dan instansi tempatku bekerja telah membuka peluang besar untuk kemajuan karirku, hingga aku dapat meraih gelar Insinyur Sipil, Magister Sain Perkotaan dan Fadil Muda Aset Management (gelar kompetensi sebagai penilai aset yang diberikan oleh UTM). Sebuah kebanggaan bagi orang tua dan keluarga besar kami yang sangat menjunjung tinggi dunia pendidikan. Kebetulan orang tua dan mertuaku sangat concern dengan dunia pendidikan. Aku akan merasa menjadi orang yang sangat tidak berguna dengan sederet gelar bila tidak dapat melakukan apa-apa. Dan di benakku ada satu pertanyaan besar, “Apa yang aku bisa kerjakan di Papua?”
            Imajinasiku menari-nari tak terkendali… Film berjudul ”Denias” kuputar ulang untuk lebih mendekatkan aku pada suasana lingkungan dan masyarakat Papua. Dan aku bukan orang yang suka meraba-raba. Browzing internet!!! Ya...  di zaman berbasis teknologi informasi saat ini, semua informasi bisa didapat dari internet!!!.       Kuaktifkan notebookku, googling. Sekejap fasilitas itu membawaku menjelajah dunia maya mencari informasi tentang Papua. Harapanku, informasi dari internet tentang Papua sangat membantuku untuk mengenali geografi tanah Papua dan demografi masyarakatnya. Tak cukup dengan itu, kualihkan pencarianku dengan fasilitas google earth untuk lebih nyata menghadirkan ”Tanah Injil” itu ke pikiranku. Tapi pencarianku dengan google earth belum bisa menjawab pertanyaanku. Peta satelit yang tidak up to date menjadi kendalanya. Gambar satelit yang aku terima sungguh tidak dapat mewakili keadaan sesungguhnya. Kabur..., daratan tertutup awan.
            Hari saat keberangkatan suamiku tiba. Dengan kepasrahan hati kuantarkan dia sampai di bandara  Soekarno Hatta. Pesawat Garuda yang membawanya, take off pukul 06.10 menit. Kupastikan pesawat sudah mengudara dalam kondisi stabil, baru kutinggalkan bandara dengan hati bertanya-tanya, ”Bagaimana dengan kehidupan suamiku di tempat tugas yang baru?”. Lagi-lagi pertanyaan itu datang, dan syukur pada Tuhan....., aku dan anak-anak memiliki orang-orang yang sangat mengasihi kami. Orang tua dan saudara-saudaraku memberi dukungan yang tak ternilai, meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.
            Sore itu...., handphoneku bergetar. Aaahhh..., ternyata dari suamiku, mengabarkan bahwa dia sudah sampai di Jayapura setelah menempuh perjalanan selama 7 jam dari Jakarta ditambah 45 menit perjalanan dari bandara Sentani, melintasi tepian danau Sentani yang menurutnya sungguh indah. Tuhan sungguh Maha Besar, suamiku tidak harus tinggal di hotel atau mengontrak rumah. Teman seangkatannya yang telah terlebih dulu bertugas di Papua meminjamkan rumahnya untuk ditinggali. ”Daripada kosong dan tidak terawat”, alasannya.
            Setelah  satu bulan masa adaptasi yang ia lewati, suamiku memintaku untuk mengambil cuti barang beberapa hari. ”Supaya tahu Papua”, katanya. Beberapa hari kemudian, akupun memenuhi permintaannya. Puji Tuhan..., setelah 7 jam perjalanan, sampailah aku di bandara Sentani. Tidak perlu aku jelaskan, betapa jauh perbedaan bandara Sentani dengan bandara-bandara yang pernah aku datangi. Kotor, karena limbah manusia yang makan buah pinang berceceran di mana-mana. Tapi tentu sulit untuk melarang atau merubah kebiasaan masyarakat untuk hal yang satu itu. Perlu effort masyarakat didukung dengan kebijakan Pemerintah Daerah. Buktinya Singapura, dengan regulasi yang jelas, masyarakatnyapun dapat berubah secara positif. Implikasi dari transparansi regulasi Singapura adalah negara maju di antara negara-negara ASEAN lainnya.
Melihat sepintas kota Jayapura, ada perasaan ”rindu” melihat tanah yang kupijak ini menjadi aset Indonesia yang bernilai. Potensi Papua merupakan aset yang tak ternilai, namun belum dimanfaatkan secara optimal sesuai kebutuhan masyarakatnya. Padahal aset atau “sesuatu” dapat dikatakan memiliki nilai bila  memiliki arti dan berguna bagi pemiliknya, dalam hal ini masyarakat Indonesia dan Pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Bagaimana dengan Papua? Tantangan buat kita warga negara Indonesia.
            Tepat 1,5 tahun setelah menginjakkan kaki di tanah Papua. Suamiku mendapat kepercayaan untuk bertugas di tempat baru, Kabupaten Jayawijaya. Lebih berat, baik medan maupun situasi dan kondisi masyarakatnya. Tapi apapun itu, kami sangat bersyukur. Aku perpegang pada firman Tuhan dalam 2Tawarik 15:7 yang berbunyi ”Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu!", dan berharap Tuhan akan membuat segalanya indah pada waktunya. Dua hari setelah pelantikan, tepatnya tanggal 26 Februari 2009, kami berangkat ke Wamena, tempat tugas baru suamiku.
Wah...wah...wah...wah..., suara penari Yospan yang dipimpin kepala suku besar Hubi (suku yang bermukim di kota Wamena) menyambut aku dan suamiku turun dari pesawat Trigana Air yang membawa kami dari bandara Sentani melintasi pegunungan Jayawijaya menuju Wamena. Perjalanan dengan pesawat berbaling-baling itu kami tempuh selama 40 menit. Wamena merupakan ibu kota Kabupaten Jayawijaya yang secara geografis terletak di tengah pulau Papua, dengan Luas  62.433 km2, daerah ini eksis sejak awal pemerintahan RI. Ditemukan pertama kali oleh Richard Archbold, ketua tim ekspedisi yang disponsori oleh American Museum of Natural History yang melihat adanya lembah hijau luas dari kaca jendela pesawat pada tanggal 23 Juni 1938. Penglihatan tidak sengaja ini adalah awal dari terbukanya isolasi Lembah Baliem dari dunia luar. Kabupaten Jayawijaya berbatasan di utara dengan Kabupaten Mamberamo Tengah dan Kabupaten Yalimo, di selatan dengan Kabupaten Yahukimo, di bagian barat dengan Kabupaten Lanny Jaya dan Kabupaten Tolikara dan di bagian timur dengan Kabupaten Pegunungan Bintang. Sejak tahun 2008, Wilayah Kabupaten Jayawijaya mengalami pemekaran menjadi 5 Kabupaten, yaitu Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Jayawijaya sendiri.
Tingkat kepadatan penduduk kota Wamena sangat jauh berbeda dengan tingkat kepadatan penduduk di kecamatan yang ada di pulau Jawa. Begitu pula dengan aksesibilitas dan utilitas kotanya. Bila kita ingin mengelilingi kotanya dengan menggunakan mobil tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam. Penerangan lampu terbatas, ada giliran hidup-matinya. Namun bila kita gali lebih jauh potensi yang ada, begitu banyak keindahan yang bisa dinikmati. Rasanya tak cukup waktu untuk  menikmatinya. Terutama yang berkaitan dengan ekologi dan antropologi budaya masyarakatnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar